Wednesday, 14 September 2016

SEJARAH KAB. JOMBANG

SEJARAH KAB. JOMBANG

https://kabarmawot.blogspot.co.id/
Jombang termasuk Kabupaten yang masih muda usia, setelah memisahkan diri dari gabungannya dengan Kabupaten Mojokerto yang berada di bawah pemerintahan Bupati Raden Adipati Ario Kromodjojo, yang ditandai dengan tampilnya pejabat yang pertama mulai tahun 1910 sampai dengan tahun 1930 yaitu : Raden Adipati Ario Soerjo Adiningrat.
Menurut sejarah lama, konon dalam cerita rakyat mengatakan bahwa salah satu desa yaitu desa Tunggorono, merupakan gapura keraton Majapahit bagian Barat, sedang letak gapura sebelah selatan di desa Ngrimbi, dimana sampai sekarang masih berdiri candinya. Cerita rakyat ini dikuatkan dengan banyaknya nama-nama desa dengan awalan "Mojo" (Mojoagung, Mojotrisno, Mojolegi, Mojowangi, Mojowarno, Mojojejer, Mojodanu dan masih banyak lagi).
Salah Satu Peninggalan Sejarah di Kabupaten JombangCandi Ngrimbi, Pulosari Bareng Bahkan di dalam lambang daerah Jombang sendiri dilukiskan sebuah gerbang, yang dimaksudkan sebagai gerbang Mojopahit dimana Jombang termasuk wewenangnya Suatu catatan yang pernah diungkapkan dalam majalah Intisari bulan Mei 1975 halaman 72, dituliskan laporan Bupati Mojokerto Raden Adipati Ario Kromodjojo kepada residen Jombang tanggal 25 Januari 1898 tentang keadaan Trowulan (salah satu onderdistrict afdeeling Jombang) pada tahun 1880.
Sehingga kegiatan pemerintahan di Jombang sebenarnya bukan dimulai sejak berdirinya (tersendiri) Kabupaten jombang kira-kira 1910, melainkan sebelum tahun 1880 dimana Trowulan pada saat itu sudah menjadi onderdistrict afdeeling Jombang, walaupun saat itu masih terjalin menjadi satu Kabupaten dengan Mojokerto. Fakta yang lebih menguatkan bahwa sistem pemerintahan Kabupaten Jombang telah terkelola dengan baik adalah saat itu telah ditempatkan seorang Asisten Resident dari Pemerintahan Belanda yang kemungkinan wilayah Kabupaten Mojokerto dan Jombang Lebih-lebih bila ditinjau dari berdirinya Gereja Kristen Mojowarno sekitar tahun 1893 yang bersamaan dengan berdirinya Masjid Agung di Kota Jombang, juga tempat peribadatan Tridharma bagi pemeluk Agama Kong hu Chu di kecamatan Gudo sekitar tahun 1700.
Konon disebutkan dalam ceritera rakyat tentang hubungan Bupati Jombang dengan Bupati Sedayu dalam soal ilmu yang berkaitang dengan pembuatan Masjid Agung di Kota Jombang dan berbagai hal lain, semuanya merupakan petunjuk yang mendasari eksistensi awal-awal suatu tata pemerintahan di Kabupaten Jombang .
ASAL MULA KOTA JOMBANG
Kabupaten Jombang berbatasan alam dengan Kabupaten Mojokerto, Lamongan, Nganjuk, dan Kediri. Menurut legenda yang berkembang di masyarakat Jombang, asal-usul Kabupaten Jombang berasal dari legenda pertarungan Kebo Kicak dan Surontanu. Wilayah pertarungan tersebutlah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Jombang.
Terdapat banyak versi legenda yang beredar di masyarakat yang menceritakan kisah Kebo Kicak.
Menurut penelusuran ke berbagai narasumber di Jombang, untuk selanjutnya dibukukan dengan judul Kebokicak Karang Kejambon (Saduran Cerita Rakyat Jombang).
Ada 13 versi cerita Kebokicak yang mengisahkan bentuk fragmen atau petilan
Dari semua petilan cerita Kebokicak di dalam buku tersebut menghadirkan corak yang berbeda-beda. Ada beberapa yang singkron. Ada juga yang untuk sementara perlu diperjelas manakah pakem atau cerita baku dari keseluruhan cerita Kebokicak. Sebab tak ada otoritas yang bisa dikatakan ini yang sah atau pun itu yang pakem dari kisah Kebokicak ini.
Versi kisah Kebokicak antara lain sbb :
Diceritakan bahwa tersebutlah nama Padepokan Pancuran Cukir yang kala itu diserang pagebluk. Guru sepuh padepokan itu, Ki Ageng Sopoyono, dapat wangsit berupa bahwa untuk mengatasi wabah itu satu-satunya cara adalah dengan menumbalinya dengan hewan berbulu putih. Ki Ageng Sopoyono memiliki dua murid: Ki Ageng Buwono dan Ki Ageng Pranggang. Ki Ageng Buwono memiliki anak perempuan bernama Wandan Manguri yang dikawin oleh Pamulang Jagad. Dari keduanya lahirlah Joko Tulus alias Kebokicak. Sementara Ki Ageng Pranggang punya putri bernama Niluh Padmi yang bersuamikan Tumenggung Surono. Dari keduanya lahirlah Joko Sendang atau Surontanu. Dari peristiwa pagebluk itu, kemudian Surontanu atau Joko Sendang ditugaskan untuk mengatasinya. Namun ia tidak bisa. Ia hanya dapat seekor banteng yang bisa tata jalma (dapat berbicara). Banteng ini bernama Banteng Tracak Kencana yang tubuhnya disusupi dua siluman Lirih Boyo dan Bantang Boyo. Karena Surontanu tidak mau menyerahkan Banteng Tracak Kencana, dan ia melarikan diri, maka Kebokicaklah yang kemudian diperintah untuk merebut rajakaya itu. Kebokicak mempunyai ajian: Bende Tengoro (Canang Baung), Singo Begandan (Singa Pelacak), Rompi Lulang Kebo Landung (Rompi Kekebalan Kulit Kerbau), dan Gedruk Gongseng (Krimpyingan Penggedruk). Sedangkan Surontanu hanya punya Ajian Kekebalan dan Banteng Tracak Kencana.
Versi lainnya ...........
Salah satu legenda yang beredar di kalangan cerita dari mulut ke mulut menyatakan bahwa karena sifatnya yang durhaka pada orang tua, maka Kebo Kicak dikutuk oleh orang tuanya sehingga memiliki kepala kebo (kerbau). Dengan demikian muncul sebutan Kebo Kicak. Setelah dikutuk memiliki kepala kerbau dengan tetap berbadan manusia, Kebo Kicak berguru kepada seorang kyai yang sakti mandraguna. Setelah bertahun-tahun belajar pada kyai tersebut, akhirnya Kebo Kicak pun menjadi orang yang sholeh dan sadar akan kesalahannya di masa lalu. Kebo Kicak memiliki kemampuan yang luar biasa, baik dari segi agama maupun kesaktian.
Pada masa itu, di sebuah Kadipaten Majapahit yang kelak disebut Kabupaten Jombang, terdapat seorang perampok yang sakti bernama Surontanu. Surontanu adalah penjahat nomor satu dan paling ditakuti oleh masyarakat yang tinggal di sekitar Jombang tidak ada satu orang pun yang mampu menangkap Surontanu. Alkisah, Kebo Kicak mendengar terjadinya huru-hara di masyarakat kemudian diperintahkan oleh gurunya untuk membasmi angkara murka. Kebo Kicak turun gunung dan menghentikan kejahatan Surontanu. Setelah petualangan beberapa hari, Kebo Kicak berhasil menemukan Surontanu dan keduanya beradu ilmu kesaktian. Pertarungan tersebut brlangsung lama sekali hingga Surontanu dengan kesaktiannya berhasil masuk kedalam rawa tebu. Kebo Kicak pun menyusul dan masuk ke dalam rawa yang terletak di wilayah Jombang sekarang. Baik Surontanu maupun Kebo Kicak yang masuk ke dalam rawa tebu tidak pernah kembali lagi hingga sekarang.
Versi Lainnya lagi ....
Dikisahkan bahwa Kebo Kicak adalah sosok ksatria dan berani mengobrak-abrik Kerajaan Majapahit untuk mencari ayah kandungnya yang bernama Patih Pangulang Jagad. Setelah Kebo Kicak bertemu dengan Patih Pangulang Jagad, sang ayah mengajukan syarat agar Kebo Kicak menunjukkan bukti bahwa dia benar-benar anaknya. Pembuktian dilakukan dengan mengangkat batu hitam di sungai Brantas sehingga Kebo Kicak harus berkelahi dengan Bajul Ijo. Sesudah berhasil membuktikan bahwa dirinya anak kandung Patih Pangulang Jagad, maka Kebo Kicak diberi wewenang menjadi penguasa wilayah Barat.
Namun, sepak terjang Kebo Kicak tidak sampai di situ, ambisi kekuasaannya yang tinggi membuat dia rela bertarung dengan saudara seperguruannya, Surantanu. Kebo Kicak berkelahi dengan Surantanu karena memperebutkan pusaka banteng yang sudah diakui sebagai milik Surantanu. Lokasi pertarungan Kebo Kicak dan Surantanu berpindah-pindah. Sebagian besar wilayah pertarungan mereka kemudian diabadikan menjadi nama daerah. Konon ceritanya, pertempuran dua saudara tersebut berlangsung dengan dahsyat. Keduanya saling beradu kesaktian hingga memunculkan cahaya ijo (hijau) dan abang (merah). Dari penggabungan kata ijo dan abang inilah muncul sebutan wilayah Jombang.
Sementara itu, kata “Jombang = Ijo Abang“. Ada banyak pemaknaan yang bisa dan biasa dibuat manusia atas sebuah warna maupun beberapa kombinasinya. Bahkan, selain dimaknai, elemen warna sering pula dijadikan semacam instrumen untuk memaknai sesuatu. Sederhananya, selain dimaknai, warna juga bisa memaknai suatu fenomena. Proses pemaknaan serupa juga terjadi pada Kabupaten Jombang yang dalam simbol kedaerahannya diwakili secara dominan oleh warna-warna hijau dan merah.
Dari kedua warna itu pulalah muncul akronim kata Jombang, yang terdiri dari ijo (hijau) dan abang (merah). Hingga saat ini, kedua warna tadi dipercaya sebagai mula asal kata Jombang, singkatan dari ijo dan abang. Dalam sebuah literatur resmi keluaran pemerintah daerah (pemda) setempat, Monografi Kabupaten Jombang, ijo bermakna kesuburan serta sikap bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, sementara abang dimaknai sebagai sifat berani, dinamis, atau sikap kritis. Akan tetapi, berbeda dengan “pengartian resmi” tadi, masyarakat Jombang memiliki cara tersendiri untuk memaknai keberadaan serta latar belakang budaya mereka.
Ijo mewakili kultur santri, kaum agamawan, atau lebih spesifik lagi Islam, yang berasal dari masyarakat pesisir. Sementara abang dipercaya mewakili kultur masyarakat abangan berpaham nasionalis, yang berasal dari masyarakat daerah pedalaman dan berlatar sejarah Mataraman (kejawen).
Cerita Rakyat
Asal mula Nama Nama sebagian daerah di Jombang .
Pengejaran Kebo kicak terhadap Surontanu untuk memperebutkan Banteng Tracak Kencono juga menjadi jejak-jejak pegejaran yang menorehkan sejarah nama-nama desa hingga saat ini nyata dan menjadi bagian administrasi struktur pemerintahan Kabupaten Jombang. Dibawah ini beberapa nama-nama desa yang menjadi jejak pengejaran itu :
Parimono
Surontanu lari bersama Banteng Tracak Kencono. Tibalah ia di sebuah persawahan nan luas. Kebo kicak datang bersama 9 nawabayangkari. Terkejut melihat Kebokicak, Surontanu mengentakkan tali banteng dan nyasak pepadian yang menghampar. Kebo kicak menggeleng geram menyaksikan itu. Maka lahirlah sebutan Parimono (padi yang disasak hingga rusak).
Mojosongo
Surontanu membuat persembunyian dari akar-akaran, ranting-ranting, dan daun-daun klaras, sementara di sekitarnya dikitari pepohonan maja. Ia membawa panah. Kebokicak datang bersama 9 nawabhayangkari. Pertarunganpun berkecamuk. 9 prajurit Kebokicak binasa oleh panah Surontanu.
Jambu
Surontanu terbirit-birit ke arah barat. Mengikat bantengnya di sebuah pohon jambu milik Ki Dumadi. Belum sempat beristirahat nyenyak, Kebo kicak pun datang.
Jombang
Surontanu lari ke utara. Menemukan kolam. Ada rumah beratap jerami, alang-alang, lalu ada pemandian kerbau. Ada cahaya ijo dan abang dari dasar kolam melesat ke langit dan menebarkan cahaya yang terang cemerlang. Keduanya bertemu dan terjadilah percekcokan. Pertarungan sengit. Surontanu terpukul mundur. Ia lari ke arah timur. Kolam jadi acak-acakan.
Ringincontong
Ada pohon beringin raksasa. Seumpama ada 10 orang mengitarinya dengan membentangkan kedua tangan maka tak bakal mencukupinya. 9 nawabhayangkari dating membantu Kebo kicak. Mereke bertempur lagi. Mereka tak kuasa mengatasi kanuragan Surontanu. Kebo kicak turun tangan. Ia mengeluarkan aji Singo Begandan, dan Bende Tengoro. Surontanu kewalahan. Ia lari ke tenggara.
Sumber Peking
Tampaklah rumbukan pring yang rimbun. Terdengar mata air yang jernih yang menggemericik deras bak bunyi alat peking. Surontanu bermalam di situ, di sebuah rumah seorang janda bernama Nyi Gulah. Kebokicak datang. Namun Surontanu telah pergi ke barat kala terbit fajar.
Mojongapit
Ada sekelompok tayub menggelar pertunjukan. Surontanu masuk ke situ. Menyamar. Lalu muncullah siluman Sardulo Onggo Bliring (berupa macan loreng). Ternyata siluman ini adalah kawan Kebokicak. Si Bliring mencekik Surontanu. Menjepit lehernya dengan kayu randu. Surontanu meronta-ronta. Kebokicak muncul. Bliring terkaget sebentar, dan jepitannya terlepas. Surontanu sedikit dapat bernapas, lalu ia lari lagi ke tenggara.
Sumber Sapon
Di pagi yang mulai terik itu ada seorang janda menyapu ( Sapon ) halaman rumahnya, ketika Kebo kicak datang dan menanyakan padanya adakah seorang lelaki berbaju hijau lewat di situ. Si janda mengiyakan. Sardulo Onggo Bliring yang mengikuti Kebokicak menyarankan untuk terus mengejar. Mereka bergerak lagi dan singgah di Desa Karang Kejambon. Kebo kicak meminta Bliring untuk jalma menus (menjadi manusia) seperti dirinya. Ini diniatkan Kebo kicak untuk sementara waktu menggantikan posisinya untuk mengatur desanya. Kebokicak meminta penduduk agar atap rumah mereka dpasangi welit atau daduk tebu. Bliring sendika dawuh atas perintah itu. Kebo kicak bergegas mengejar Surontanu.sambil bersimpuh memeluk mayat Joko Tamping. Kebo kicak tertegun dan sekejap ia tak kuasa bertindak. Cepat-cepat Surontanu kabur ke selatan.
Megaluh.
Selain itu, Megaluh yang dulu bernama Watugaluh ini konon ceritanya dikarenakan pertempuran antara Kebo Bang Surowijoyo yang merupakan pendekar tangguh di daerah Watugaluh (Megaluh) melawan Kebo Kicak setelah dimintai pertolongan oleh Surontanu.
Hingga kini nama Jombang tak pelak senantiasa dikaitkan dengan Kebo Kicak. Meski legenda ini tidak banyak terekspos oleh media massa namun nama Kebo kicak selalu menjadi tokoh utama yang senantiasa diingat oleh masyarakat Jombang. Kebo kicak telah menorehkan sejarah di Kabuapaten Jombang dan hingga kini salah satu peninggalan bersejarah dan berdiri kokoh menjadi ikon Jombang adalah RinginContong. RinginContong ialah pohon raksasa yang menjadi tempat persinggahan Kebo kicak dalam pengejarannya terhadap Surontanu dan Banteng Tracak Kencana yang akan dijadikan sebagai tumbal terkait munculnya pageblug atau wabah penyakit yang sulit disembuhkan didaerah padepokan Pancuran Cukir.
Bantengan:
Sejak mula desa ini memang bernama Bantengan. Surontanu sembunyi di situ. Di rumahnya sendiri. Tampaknya Niluh Padmi, ibu Surontanu, sedang memberikan sebungkus nasi pada anaknya itu. Surontanu tak menceritakan apa yang terjadi. Sehabis makan, ia pamit. Tak lama kemudian, Kebokicak tiba. Perbincangan singkat. Niluh padmi terperanjat mendengar cerita Kebokicak. Ia menangis dan meminta pada Kebokicak agar berdamai dengan Surontanu. Kebokicak berjanji akan bertindak yang terbaik, jika Surontanu mau menyerahkan Banteng Tracak Kencana. Lalu Niluh Padmi menunjukkan bahwa Surontanu lari ke barat.
Tamping Mojo:
Ada arak-arakan temanten yang merayakan perkawinan Joko Tamping dan Siti Wulanjar. Surontanu menyusup ke dalam arak-arakan. Kebokicak datang memberitahu bahwa di dalam rombongan itu ada perusuh bernama Surontanu. Joko Tamping tahu lalu melawan Surontanu. Ia dikeplekkan Surantanu sampai pingsan lalu mati. Siti Wulanjar menjerit-jerit sambil bersimpuh memeluk mayat Joko Tamping. Kebokicak tertegun dan sekejap ia tak kuasa bertindak. Cepat-cepat Surontanu kabur ke selatan.
Ngrawan:
Kebokicak tak segera mengejarnya. Ia memulangkan Siti Wulanjar ke rumah orang tuanya. Lalu daerah si pengantin malang itu diparabi Desa Ngrawan.
Nglungu:
Kebokicak kemalaman, dan plonga-plongo (tolah-toleh), di jalan dan melihat arah barat dengan mata ngungun. Lamunannya melendot panjang ke entah.
Petengan:
Kebokicak tampak putus asa, ia duduk lesu di sebongkah bangkai kayu, langit terasa gelap menyelimuti hatinya. Membayangkan angkasa terasa pahit dan berkabut tebal di Karang Kejambon.
Glugu:
Surantanu lari ke utara. Ia menemukan glugu yang roboh melintang di kali Konto (anak sungai Brantas). Kebokicak datang. Surantanu mecetat (lari cepat) ke timur.
Dukuh Klopo:
Di tempat ini Surantanu membangun benteng dari batang-batang kelapa. Pancang-pancang yang kokoh. Kebokicak tiba. Ia lari ke timur.
Tengaran:
Ini tempat Surontanu memasang umbul-umbul berwarna-warni. Kebanyakan berwarna hijau. Ketika Kebokicak menyusul, ia kabur ke arah utara.
Ndero:
Surontanu memasang bendera perang warna merah. Lalu ia lari ke barat saat Kebokicak datang.
Kandang Sapi:
Banteng Surontanu menyelinap di kandang sapi milik Ki Wongso. Kebokicak datang. Dialog dengan Ki Wongso. Surontanu lari ke utara.
Kedung Betik:
Surontanu mandi di kedung atau telaga yang banyak ikan betiknya. Kebokicak datang. Surontanu lari ke barat.
Tenggulukan:
Surontanu sembunyi di Rawa Perning. Surontanu ketemu dengan siluman Celeng Kecek yang mengusili si banteng Tracak Kencana. Lalu Celeng Kecek dibunuh Surontanu. Kebokicak datang. Surontanu lari ke utara. Celeng Kecek ditengguluk (dipanggul) Kebokicak, sebab ia dianggap telah membantunya, lalu dikuburkan di dekat kali Brantas.
Keboan:
Banyak orang mengguyang (memandikan) kerbau. Surontanu dan Kebokicak bertarung sampai tewas di situ. Dua siluman Bantang Boyo dan Lirih Boyo keluar dari Banteng Tracak Kencana lalu membenamkan banteng itu di dasar kali Brantas. 9 nawabhayangkari yang barus saja datang hendak membantu Kebokicak langsung dibinasakan oleh dua siluman itu. Batu gilang, siluman Buntung Boyo.
Dari 13 versi cerita Kebokicak yang disusun mahasiswa STKIP PGRI Jombang di atas, ada beberapa versi yang patut dicermati, selain beberapa versi lain yang serupa. Seperti versi Joko Tulus (Kebokicak Karang Kejambon) dengan narasumber Sukono. Versi ini agak ganjil dari versi umum. Saya coba rangkum point pokoknya:
Tradisi lisan dan mitos tentang sosok Kebo Kicak ini begitu dominan, walau tidak semua warga Jombang tahu. Karena itu tetap membutuhkan kajian historis spesifik secara akademis, bukan sekadar beranjak dari legenda untuk menautkan dan selanjutnya menemukan titik-terang kesejarahan sebuah wilayah.
Kota Santri, Jombang yang Penuh Catatan Sejarah
Kota Jombang, seperti lazimnya kota-kota lain, punya motto pula, yaitu Jombang Beriman. Sesuai dengan mottonya, kota ini memang terlihat sarat nuansa agamisnya. Di beberapa tempat terdapat pesantren; tempat menggali ilmu-ilmu agama. Ada pula sejumlah majelis perkumpulan tempat berkumpul kaum santri untuk sekadar mendiskusikan berbagai persoalan. Di kota ini juga, sosok-sosok penting dalam organisasi NU, seperti KH Hasyim Asyari, KH Wahid Hasyim, KH Abdul Wahab Hasbulloh, dan bahkan Gus Dur, dilahirkan. Ada juga cendekiawan muslim, Nurcholis Majid yang juga lahir dan besar di Jombang. Mereka semua adalah generasi bangsa yang lahir dari alam pesantren.
Bareng (baca: Mbareng). Di kawasan ini ada sebuah candi, namanya Candi Arimbi. Letak candi ini berada di Desa Pulosari Kecamatan Bareng, 8 km dari Mojowarno. Candi ini, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari superioritas Kerajaan Majapahit. Sebab dulu, di masa kejayaannya, cakupan Kerajaan Majapahit memang luas. Salah satu wilayah kekuasaannya, ya daerah Jombang ini.
Menurut pitutur rakyat setempat, daerah Bareng menjadi gate atau gerbang masuk bagian selatan di kawasan Jombang menuju pusat kerajaan yang berada di Trowulan; kotaraja Majapahit.
Candi Arimbi cukup kokoh. Dengan tinggi sekitar 12 meter, lebar 9 meter, dan panjang 13 meter, candi pada zaman purbakala ini seolah menyampaikan pesan akan keagungan Kerajaan Majapahit. Dan, keagungan yang terwakili oleh kokohnya candi seperti tak pernah mati oleh zaman.
Konon, jasad dari Ratu Tri Bhuana Tunggadewi, ibunda Raja Hayam Wuruk, dikremasi di candi ini.
Tebu Ireng
Di Tebuireng, ada sebuah pesantren klasik yang sangat terkenal. Namanya pesantren Tebuireng. Pesantren ini didirikan pada 1899. Seorang ulama muda ketika itu, KH Hasyim Asyari, memulai langkah-langkah syiar agama Islam dengan membangun masjid, rumah kecil, dan pemondokan.
Di beberapa tempat, masih ada kamar-kamar santri yang bentuk bangunannya masih mempertahankan keasliannya. Dengan beratapkan bambu, model jendela yang tinggi dan berdinding tebal, salah satu bangunan ini lebih mencirikan adanya asimilasi budaya Jawa, Islam, dan Eropa.
Di dalam areal pesantren Tebuireng, ada makam KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. beberapa santri sedang mengkhusyukkan diri larut dalam doa-doa kepada almarhum dan ahli kubur yang lain.
Tambakberas.
Tambakberas, berada di persimpangan jalan raya antara Jombang kota menuju utara, yaitu Lamongan. Wilayah ini, konon, masih berupa alas liar pada awal abad 19.
Berdasar beberapa literatur , usai perang Diponegoro pada 1830, salah seorang muridnya yang bernama Kyai Abdus Salam, melarikan diri ke timur. Ia lalu membabat alas di wilayah Tambakberas. Setelahnya, ia mendirikan pesantren yang terletak di sisi timur sungai Tambakberas. Hingga tulisan ini ditulis, sisa-sisa bangunan pesantren awal ini masih ada. Meski, sudah termakan oleh zaman.
Tak jauh dari pesantren Tambakberas, di sebelah barat, ada sungai kecil. Di sungai itu, tampak sebuah dam air yang masih berfungsi dengan baik. menurut cerita yang turun temurun, di lokasi dam air inilah, zaman dulu, Ronggolawe mati terbunuh. Ia tak kuasa berperang melawan pasukan Majapahit . Ia menambahkan juga, setelah mati terbunuh, pusakanya sempat hilang di sungai.
Sungai ini memang terlihat kecil ukurannya. Namun, kalau mengikuti alurnya hingga jauh ke utara, maka bertemulah dengan sungai yang lebih besar, yaitu Berantas.
Denanyar.
Sebuah kawasan yang juga relijius. Di sini ada pesantren Denanyar yang dibangun sekitar 1917 oleh KH Bisyri Syansuri. Secara genealogis, antara pesantren Tambakberas-Denanyar-Tebuireng masih satu ikatan famili. Pesantren Tambakberas didirikan oleh KH Abd Wahab Hasbulloh. Beliau masih punya hubungan sepupu dengan KH Hasyim Asyari, pendiri Pesantren Tebuireng maupun KH Bisyri Syansuri, pendiri pesantren Denanyar.
Tunggorono.
Pada zaman Majapahit, Tunggorono menjadi gerbang masuk sebelah barat menuju pusat Kerajaan Majapahit. Sekaligus menjadi pagar betis dalam usaha mempertahankan keraton dari serangan musuh luar.
Berikut adalah 18 nama-nama Bupati Jombang yang pernah menjabat sesuai dengan masa baktinya :
1. R.A.A. Soeroadiningrat (Masa Bhakti 1910-1930)
2. R.A.A. Setjoadiningrat (Masa Bhakti 1930 – 1946 )
3. R. Boediman Rahardjo (Masa Bh akti 1946-1949)
4. R. Moestadjab Soemowidagdo (Masa Bhakti 1949 -1950)
5. R. Istad jab Tjokrokoesoemo (Masa Bhakti 1950-1956)
6. M. Soebijakto (Masa Bhakti 1956-1958 )
7. R. Soed arsono (Masa Bhakti 1958-1962)
8. R. Hassan Wirjoekoesoemo (Masa Bhakti 1962-1966)
9. Ismail (Masa Bhakti 1966-1973)
10. R. Soedirman (Masa Bhakti 1973-1979)
11. Achmad Hudan Dardiri (Masa Bhakti 1979-1983)
12. Noeroel Koesmen (Masa Bhakti 1983 -1988)
13. Tarmin Hariadi (Masa Bhakti 1988-1993)
14. Soewoto Adiwibowo (Masa Bhakti 1993-1998)
15. Drs.H. Affandi, M.Si (Masa Bhakti 1998-2003 )
16. Drs. H. Suyanto (Masa Bhakti 2003 – 2008)
17. Drs. H. Ali Fikri (Masa Bhakti Juni 2008- September 2008)
18. Drs. H. Suyanto (Masa Bhakti 2008 – 2013)
19. September 2013 - 2018 Nyono Suharli
- Setelah terkatung-katung beberapa tahun, Kabupaten Jombang akhirnya berhasil menyepakati hari jadinya, yakni 3 April 1022. Tanggal tersebut dipilih berdasarkan Prasasti Munggut, yakni prasasti yang berada di Dusun Sumbergurit, Desa Kateman, Kecamatan Kudu Jombang.
Kesepakatan tersebut tercapai setelah tim peneliti Hari Jadi Jombang dari Arkenas (Arekologi Nasional) memaparkan hasil penelitiannya. Sedangkan audiens yang hadir meliputi SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) serta sejumlah tokoh setempat.
Titi Surti Nastiti, tim peneliti yang juga ahli arkeologi dan epigrafi Pusat Arkeologi Nasional, untuk menelusuri hari jadi Jombang pihaknya melakukan penelitian di sejumlah tempat. "Termasuk meneliti sejumlah artefak dan prasasti peninggalan zaman Mpu Sindok dan Raja Airlangga. Karena di Jombang memang banyak sekali peninggalan dua raja itu," kata Nastiti di hadapan forum, Kamis (14/11/2013).
Nastiti kemudian menyebut sejumlah prasasti menjadi obyek penelitian tim. Diantaranya, prasasti Poh Rinting (peninggalan Mpu Sindok, 28 Oktober 929 M) di Desa Glahan Kecamatan Perak, prasasti Munggut di Dusun Sumbergurit, Desa Katemas, Kecamatan Kudu, prasasti Geweg di Kecamatan Peterongan, prasasti Kasumbyan (peninggalan Airlangga) di Dusun Grogol, Desa Katemas, Kecamatan Kudu, serta prasasti Sendang Made di Desa Made Kecamatan Kudu.
Seluruh prasasti tersebut merupakan peninggalan Mpu Sindok dan Airlangga. Artinya, keberadaan Jombang sendiri jauh sebelum kerajaan Majapahit ada. Namun dari seluruh prasasti tersebut yang masih utuh adalah prasasti Munggut. Yakni tulisan huruf kuno masih terbaca, selain itu juga lengkap dengan tanggal, bulan serta tahun.
Nastiti mengungkapkan, prasasti Munggut bertulisan Jawa kuno peninggalan massa Kerajaan Airlangga sekitar tahun 1022 M. Isinya, diantaranya tentang hak istimewa warga desa setempat bebas dari pajak yang diberikan kerajaan pada massa tersebut. Nastiti juga meyakini bahwa lokasi sekitar prasasti itu dulunya tempat istimewa bagi kerajaan. Karena tidak jauh dari prasasti Munggut, juga terdapat dua prasasti lain, salah satunya adalah prasasti Kasubyan.
Kondisi itu semakin klop dengan ditemukannya sejumlah genting kuno, pecahan keramik Cina, lumpang-lumpang batu, pipisan, umpak-umpak kuna dalam berbagai ukuran, serta bangunan irigasi zaman kerajaan. "Jadi kita menyimpulkan bahwa hari jadi Jombang berdasarkan prasasti Munggut, 3 April 1022. Karena memang prasasti tersebut data tekstualnya masih utuh," ujarnya.
Sementara itu, Dwi Cahyono, peneliti lainnya mengatakan, salah satu prasasti di Desa Katemas juga menyebut nama Madander. Nah, nama Madander ini diyakini sebagai nama Dusun Bedander Desa Sumbergondang, Kecamatan Kabuh. Tempat itulah yang diduga dijadikan tempat Gajahmad menyenbunyikan Raja Jayanegara dari pemberontakan Rakuti.
Dalam arti, lanjut Dwi, wilayah utara Sungai Brantas Jombang banyak merekam momentum historis pada masa lalu. Jadi Dwi jiga mengamini kalau hari jadi Jombang didasarkan pada prasarti Munggut. "Memang nama Bedander juga ada di Bojonegoro, namun kawasan itu terlalu jauh dari Majapahit," tambahnya.
Dia beralasan, saat itu Gajahmada sempat mengirim telik sandi ke pusat Kota Majapahit untuk melihat situasi kota raja. Telik sandi tersebut hanya diberi waktu setengah hari untuk memberikan laporan. "Kalau Bedander itu berada di Bojonegoro secara otomatis tidak cukup menempuh perjalanan setengah hari. Jadi yang paling tepat Bedander berada di Kabuh Jombang," ungkapnya.
Setelah dipaparkan secara panjang lebar, akhirnya forum menyepakati Hari Jadi Jombang 3 April 1022. Selanjutnya, ditanda tangani berita acara kesepakatan itu. "Hasil kesepakatan ini akan kita jadikan acuan untuk mengajukan perda hari jadi Jombang. Insya Allah, tahun 2014 kita sudah bisa memperingati hari jadi Jombang," kata Yudi Andrianto, Kepala Bappeda Jombang.
Pelengkap
Jombang adalah kabupaten yang terletak di bagian tengah Provinsi Jawa Timur. Luas wilayahnya 1.159,50 km²[2], dan jumlah penduduknya 1.201.557 jiwa (2010), terdiri dari 597.219 laki-laki dan 604.338 perempuan. Pusat kota Jombang terletak di tengah-tengah wilayah Kabupaten, memiliki ketinggian 44 meter di atas permukaan laut, dan berjarak 79 km (1,5 jam perjalanan) dari barat daya Kota Surabaya, ibu kota Provinsi Jawa Timur. Jombang memiliki posisi yang sangat strategis, karena berada di persimpangan jalur lintas selatan Pulau Jawa (Surabaya-Madiun-Jogjakarta), jalur Surabaya-Tulungagung, serta jalur Malang-Tuban.[3]
Jombang juga dikenal dengan sebutan Kota Santri, karena banyaknya sekolah pendidikan Islam (pondok pesantren) di wilayahnya.[4] Bahkan ada pameo yang mengatakan Jombang adalah pusat pondok pesantren di tanah Jawa karena hampir seluruh pendiri pesantren di Jawa pasti pernah berguru di Jombang. Di antara pondok pesantren yang terkenal adalah Tebuireng, Denanyar, Tambak Beras, dan Darul Ulum (Rejoso).
Penemuan fosil Homo mojokertensis di lembah Sungai Brantas menunjukkan bahwa seputaran wilayah yang kini adalah Kabupaten Jombang diduga telah dihuni sejak ratusan ribu tahun yang lalu.
Tahun 929, Raja Mpu Sindok memindahkan pusat Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, diduga karena letusan Gunung Merapi atau serangan Kerajaan Sriwijaya. Beberapa literatur menyebutkan pusat kerajaan yang baru ini terletak di Watugaluh. Suksesor Mpu Sindok adalah Sri Isyana Tunggawijaya (947-985) dan Dharmawangsa (985-1006). Tahun 1006, sekutu Sriwijaya menghancurkan ibukota kerajaan Mataram dan menewaskan Raja Dharmawangsa. Airlangga, putera mahkota yang ketika itu masih muda, berhasil meloloskan diri dari serbuan Sriwijaya, dan ia menghimpun kekuatan untuk mendirikan kembali kerajaan yang telah runtuh. Bukti petilasan sejarah Airlangga sewaktu menghimpun kekuatan kini dapat dijumpai di Sendang Made, Kecamatan Kudu. Tahun 1019, Airlangga mendirikan Kerajaan Kahuripan, yang kelak wilayahnya meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali; serta mengadakan perdamaian dengan Sriwijaya.
Pada masa Kerajaan Majapahit, wilayah yang kini Kabupaten Jombang merupakan gerbang Majapahit. Gapura barat adalah Desa Tunggorono, Kecamatan Jombang, sedang gapura selatan adalah Desa Ngrimbi, Kecamatan Bareng. Hingga ini banyak dijumpai nama-nama desa/kecamatan yang diawali dengan prefiks mojo-, di antaranya Mojoagung, Mojowarno, Mojojejer, Mojotengah, Mojongapit, dan sebagainya. Salah satu peninggalan Majapahit di Jombang adalah Candi Arimbi di Kecamatan Bareng.
Menyusul runtuhnya Majapahit, agama Islam mulai berkembang di kawasan, yang penyebarannya dari pesisir pantai utara Jawa Timur. Jombang kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Mataram Islam. Seiring dengan melemahnya pengaruh Mataram, Kolonialisasi Belanda menjadikan Jombang sebagai bagian dari wilayah VOC pada akhir abad ke-17, yang kemudian sebagai bagian dari Hindia Belanda. Etnis Tionghoa juga berkembang; Kelenteng Hong San Kiong di Gudo, yang konon didirikan pada tahun 1700 masih berfungsi hingga kini. Hingga kini pun masih ditemukan sejumlah kawasan yang mayoritasnya adalah etnis Tionghoa dan Arab.
Tahun 1811, didirikan Kabupaten Mojokerto, di mana meliputi pula wilayah yang kini adalah Kabupaten Jombang. Jombang merupakan salah satu residen di dalam Kabupaten Mojokerto. Bahkan Trowulan (di mana merupakan pusat Kerajaan Majapahit), adalah masuk dalam kawedanan (onderdistrict afdeeling) Jombang.
Alfred Russel Wallace (1823-1913), naturalis asal Inggris yang memformulasikan Teori Evolusi dan terkenal akan Garis Wallace, pernah mengunjungi dan bermalam di Jombang ketika mengeksplorasi keanekaragaman hayati Indonesia.
Tahun 1910, Jombang memperoleh status Kabupaten, yang memisahkan diri dari Kabupaten Mojokerto, dengan Raden Adipati Arya Soeroadiningrat sebagai Bupati Jombang pertama.[6] Masa pergerakan nasional, wilayah Kabupaten Jombang memiliki peran penting dalam menentang kolonialisme. Beberapa putera Jombang merupakan tokoh perintis kemerdekaan Indonesia, seperti KH Hasyim Asy'ari (salah satu pendiri NU dan pernah menjabat ketua Masyumi) dan KH Wachid Hasyim (salah satu anggota BPUPKI termuda, serta Menteri Agama RI pertama).
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur mengukuhkan Jombang sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur.
Kabupaten Jombang terdiri atas 21 kecamatan, yang mencakup 306 desa dan 4 kelurahan.[7] Sebagai pusat pemerintahan adalah Kecamatan Jombang. Kecamatan Ngusikan, merupakan pemekaran dari Kecamatan Kudu yang dibentuk pada tahun 2001.
Peta topografi Kabupaten Jombang
Sebagian besar wilayah Kabupaten Jombang merupakan dataran rendah, yakni 90% wilayahnya berada pada ketinggian kurang dari 500 meter dpl. Secara umum Kabupaten Jombang dapat dibagi menjadi 3 bagian:
Bagian utara, terletak di sebelah utara Sungai Brantas, meliputi sebagian besar Kecamatan Plandaan, Kecamatan Kabuh, dan sebagian Kecamatan Ngusikan dan Kecamatan Kudu. Merupakan daerah perbukitan kapur yang landai dengan ketinggian maksimum 500 m di atas permukaan laut. Perbukitan ini merupakan ujung timur Pegunungan Kendeng.
Bagian tengah, yakni di sebelah selatan Sungai Brantas, merupakan dataran rendah dengan tingkat kemiringan hingga 15%. Daerah ini merupakan kawasan pertanian dengan jaringan irigasi yang ekstensif serta kawasan permukiman penduduk yang padat.
Bagian selatan, meliputi Kecamatan Wonosalam dan sebagian Kecamatan Bareng dan Mojowarno. Merupakan daerah pegunungan dengan kondisi wilayah yang bergelombang. Semakin ke tenggara, semakin tinggi. Hanya sebagian Kecamatan Wonosalam yang memiliki ketinggian di atas 500 m.
Sungai
Sungai Brantas, yang merupakan sungai terbesar di Jawa Timur, memisahkan Kabupaten Jombang menjadi dua bagian: bagian utara (24%) dan bagian selatan (76%), sepanjang ±44 km. Kabupaten Jombang juga terus berupaya dalam menyelamatkan tanggul dan ekosistem yang ada di sepanjang sungai Brantas. Langkah itu antara lain, dengan membentuk Kelompok Masyarakat (Pokmas) yang anggotanya terdiri dari para penambang pasir yang ada di 8 kecamatan, dan tersebar di 34 desa.[8] Sungai-sungai lain yang signifikan adalah Sungai Marmoyo (23 km), Sungai Ngotok Ring Kanal (27 km), Sungai Konto (14 km), Sungai Gunting (12 km), dan Sungai Jurangjero (12 km).
Iklim dan cuaca
Pariwisata di Jombang
Kabupaten Jombang memiliki berbagai keindahan alam dan potensi pariwisata lain yang menarik. Sangat disayangkan, potensi tersebut pada umumnya belum digali, dan tidak memiliki pendukung sarana dan prasarana yang memadai untuk memajukan pariwisata di Kabupaten Jombang, sehingga menunggu adanya investasi untuk menggarapnya. Hal ini sangat penting dan menguntungkan, mengingat posisi Kabupaten Jombang yang bersebelahan dengan daerah tujuan wisata alam Malang di tenggara dan Pacet-Trawas-Tretes di timur; serta wisata historis (situs Majapahit) Trowulan. Di Jombang memiliki beberapa tempat pariwisata yang menarik, selain itu terdapat wisata buatan salah satunya yaitu Tirta Wisata yang terletak di wilayah Kecamatan Peterongan.[1]
Wisata buatan
Tirta Wisata
Tempat wisata lokal yang terdapat balekambang, kolam pancing, kolam renang dan lapangan tenis. Tempat ini sering diselenggarakan berbagai konser, baik artis regional hingga artis ibukota. Terletak di tepi jalan raya Jombang-Surabaya, Desa Keplaksari, Kecamatan Peterongan.
Wisata alam
Sungai Kedung Cinet di Ploso, Jombang
(1927)
Wanawisata Sumberboto
Merupakan wahana wisata binaan dari Perhutani yang banyak dikunjungi wisatawan lokal. Suasana dingin dan asri penuh dengan pepohonan, terdapat pula kolam renang air hangat. Terletak di Desa Grobogan, Kecamatan Mojowarno. Biasanya ditempat ini dijadikan sebagai tempat perkemahan.
Wisata Agro Perkebunan Panglungan
Kawasan perkebunan dengan topografi pegunungan yang berada di Desa Sambirejo, Kecamatan Wonosalam ini berfungsi sebagai daerah resapan air dan kawasan konservasi lahan. Saat ini Panglungan tengah dikembangkan sebagai agrowisata dengan tanaman utama kakao, cengkeh, melinjo, dan kopi.
Air Terjun Tretes
Merupakan air terjun dengan ketinggian 158 meter, dan terletak di ketinggian 1250 meter di atas permukaan air laut. Terletak di Dusun Tretes, Desa Galengdowo, Kecamatan Wonosalam.
Goa Sigolo-golo
Terletak di Dusun Kranten, Desa Panglungan, Kecamatan Wonosalam. Merupakan Goa di wilayah Jombang yang menyuguhkan pemandangan alam yang indah.
Kedung Cinet
Merupakan wisata alami pegunungan yang sangat mempesona. Aliran sungai yang jernih dan menawan dilintasi oleh "jembatan goyang". Terdapat di Desa Klitih, Kecamatan Plandaan.
Sendang Made
Terletak di Desa Made, Kecamatan Kudu. Di kawasan ini terdapat peninggalan sejarah petilasan Raja Airlangga. Selain Sendang Made di sekitarnya terdapat sendang-sendang lain yang lebih kecil, Diantaranya Sendang Payung, Sendang Padusan, Sendang Drajat, Sendang Sinden dan Sendang Omben.
Wisata minat khusus

Candi Ngrimbi
Candi ini dulunya merupakan pintu gerbang sebelah selatan Kerajaan Majapahit. Terletak di Desa Ngrimbi, Kecamatan Bareng. Letaknya sangat strategis karena berada di tepi jalan utama Mojoagung-Wonosalam.
Makam K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. Wachid Hasyim
K.H. Hasyim Asy'ari merupakan pendiri Ponpes Tebuireng (Jombang), salah satu pendiri organisasi Nahdlatul Ulama. Puteranya, K.H. Wachid Hasyim adalah Menteri Agama RI pertama. Dua makam pahlawan nasional ini terletak di kompleks Ponpes Tebuireng, Desa Cukir, Kecamatan Diwek.
Makam Sayid Sulaiman
Sayid Sulaiman merupakan salah satu penyebar Islam di kawasan Jombang pada era pasca runtuhnya Majapahit. Pada malam Jumat Legi, makam ini banyak dikunjungi peziarah. Terletak di Desa Mancilan, Kecamatan Mojoagung.
Makam Gunung Kuncung
Terletak di lereng gunung, di Desa Wonorejo, Kecamatan Wonosalam; yakni di perbatasan dengan Kabupaten Kediri.
Makam / petilasan Pangeran Benowo
Makam ini terletak di Desa Wonomerto, Kecamatan Wonosalam.
Makam Gus Dur
Merupakan makam mantan dari presiden Indonesia yang keempat, KH. Abdurrahman Wahid, di kompleks Ponpes Tebuireng, Desa Cukir, Kecamatan Diwek. Tempat ini dijadikan tempat ziarah yang selalu ramai dikunjungi.
Wisata religius
Pondok Pesantren
Jombang telah lama terkenal dengan julukan kota santri. Lima ponpes terbesar di Kabupaten Jombang adalah Ponpes Tebuireng di Cukir (Kecamatan Diwek), Ponpes Darul Ulum di Rejoso (Kecamatan Peterongan), Ponpes Bahrul Ulum di Tambakberas (Kecamatan Jombang)Ponpes Mambaul Maarif di Denanyar (Kecamatan Jombang) dan Ponpes Luhur Nurhasan di Gadingmangu Kecamatan Perak.
Pengajian Padang Mbulan
Merupakan pengajian rutin yang digelar pada setiap malam bulan purnama. Pengajian ini dirintis oleh budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Diadakan di halaman depan asal rumah Cak Nun di Desa Menturo, Kecamatan Sumobito.
Kelenteng Hong San Kiong
Terletak di desa Gudo, Jombang. Selain dikenal sebagai tempat ibadah Tridarma (Agama Taoisme, Budha, dan Konghucu) juga sebagai tempat berobat. Menariknya yang datang untuk berobat juga banyak yang dari kalangan pribumi. Setiap menjelang Tahun Baru Imlek, kelenteng ini mengadakan acara hajatan yang cukup meriah, seperti Wayang Potehi maupun Pagelaran Barongsay.
Gereja Mojowarno
Gereja Mojowarno merupakan gereja tertua di kawasan, serta dulunya pernah menjadi pusat salah satu aliran Kristen Protestan pada zaman Belanda. Setiap setahun sekali, gereja ini mengadakan upacara kebetan dan unduh-unduh, yang sarat akan kultur lokal.
Kerajinan tangan
Wisata Kerajinan Manik-manik Kaca
Lokasi kerajinan dengan skala industri kecil ini terletak di Desa Plumbon-Gambang Kecamatan Gudo. Di sini para pengrajin menyulap kaca-kaca bekas menjadi aneka kerajinan manik-manik yang sangat mengagumkan. Kerajinan ini telah merambah pasar ekspor (Asia dan Eropa), serta menjadi salah satu produk yang banyak dijumpai di Pasar Seni Bali.
Wisata Kerajinan Cor Kuningan
Lokasi kerajinan cor kuningan ini terletak di Desa Mojotrisno, Kecamatan Mojoagung. Produk-produk kuningan seperti patung suvenir ini juga telah merambah ke pasar ekspor.

No comments:

Post a Comment